Sabtu, 28 Januari 2012

NEGERIKU PENGHASIL GARAM

maksum-garam
Yogyakarta
- Walau Indonesia adalah negara penghasil garam di dunia, Indonesia masih harus mengimpor komoditas ini untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Padahal Indonesia memiliki potensi yang cukup besar sebagai produsen garam, bahkan pengimpor garam.

"Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki panjang pesisir hampir 90.000 Km yang cukup berpotensi dalam menghasilkan bahan baku garam. Namun cukup disayangkan kita masih harus mengimpor sekitar 70% garam dapur atau setara 1,63 juta ton untuk memenuhi kebutuhan garam dalam negeri,” papar Guru Besar Sosek Agroindustri Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM, Prof Mochammad Maksum Machfoedz, Senin (17/10/2011) di dalam seminar Ketahanan Pangan di Kantor Pusat UGM.
Data Departemen Perindustrian dan Perdagangan tahun 2003, menuliskan bahwa kebutuhan garam nasional mencapai 855.000–950.000 ton untuk kebutuhan konsumsi dan 1.150.000–1.345.000 ton untuk kebutuhan industri.Sementara itu produksi garam hanya mampu menghasilkan 307.000 ton/tahun sedangkan industri garam rakyat hanya berkisar 1.022.000 ton.
Maksum menyebutkan Indonesia saat ini tengah terperosok dalam jebakan pangan impor. Selain garam, Indonesia juga masih harus mengimpor sejumlah kebutuhan pangan seperti 100% kebutuhan anak ayam umur sehari (day old chicken/DOC), 35% daging beku dan bakalan, 90% bawang putih, serta 605 kedelai.
“Memang banyak ekonomis yang menyatakan tidak masalah dengan impor ini. Namun, sekali lagi saat berkenaan dengan komoditas startegis dan hajat hidup 240 juta jiwa, keputusan ekspor-impor mestinya tidak hanya berbasis tata niaga dan finansial. Urusan ini harusnya dipandang sebagai urusan ekonomi politik, hak asasi dan keadilan karena implikasi sosial politiknya yang sangat luas,” urai peneliti Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM ini.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Peternakan UGM, Prof. Ali Agus, menuturkan bahwa Indonesia perlu berjihad dalam melepaskan belenggu ketergantungan pangan dari negara lain. Arena berjihad yang bisa digarap meliputi politik pangan nasional (beras vs non beras; lokal vs impor), politik agrarian dengan pengusaan lahal oleh petani dan politik berpihak ‘pro produsen vs pro konsumen’. Selanjutnya dalam bidang pertanian meliputi kemandirian bibit (vs monopoli supplier bibit), kemandirian pupuk (kimia vs organic), dan kemnadirian sarana produksi yang meliputi irigasi dan transportasi. Terakhir adalah di area konsumen dengan memberikan pendidikan bagi konsumen (nasionalisme) dan berperilaku memihak (lokal vs impor). (ugm/idr)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar